Suatu siang di tahun 606 M, Ka’bah sudah mulai reyot. Keadaan makin diperparah ketika banjir bandang melindasnya. Masyarakat kota Mekkah lalu mengadakan gotong royong untuk memperbaiki bangunan yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as.
Awalnya mereka aku-akur saja. Tapi, ketika renovasi menjelang rampung, muncul masalah besar. Hajar Aswad menjadi rebutan. Siapakah yang mendapat kehormatan meletakkan kembali “Batu Hitam” itu? Semua kepala suku yang ada di kota Mekkah ingin mendapatkan kehormatan itu.
Mereka saling berdebat. Masing-masing kepala suku berebut ingin meletakkannya. Bahkan mereka nyaris adu otot dan berupaya untuk mengajak perang tanding dengan pedang.
Untunglah, ada seseorang bijak bernama Abu Umayya bin Mughira yang mengusulkan sebuah ide yang berbunyi : ”Siapa yang lebih dahulu datang ke dalam Baitullah ini pada esok pagi, maka dialah yang berhak meletakkan batu hitam ini”.
Usulan bijak ini disetujui oleh berbagai kepala suku. Dan mereka menunggu siapa gerangan yang akan hadir terlebih dahulu memasuki Rumah allah itu. Dan ternyata Muhammad bin Abdullah adalah orang pertama yang memasuki Ka’bah. Maka semua warga kota Mekkah mempersilahkan beliau untuk meletakkan Hajar Aswad.
Hal pertama yang dilakukan Muhammad bin Abdullah adalah segera menggelar sorban yang biasa ia pakai. Setelah itu diangkatnya Hajar Aswad dan diletakkan ditengah-tengah sorban yang tergelar di atas tanah itu. “Sekarang, mari kita angkat sorban ini bersama-sama,”ujarnya dengan lemah lembut.
Ajakannya mendapat sambutan. Kepala suku yang tadinya berseteru, segera memegang ujung-ujung sorban dan mengangkatnya beramai-ramai menuju tempat peletakan Hajar Aswad.
Dan solusi yang ditawarkan Muhammad bin Abdullah ternyata melegakan semua kepala suku.
Mereka masing-masing telah mendapatkan kehormatan meletakkan Hajar Aswad secara bersama-sama. Tak ada kebencian dan saling iri. Mereka bersatu dan puas dengan hasil yang mereka capai. Hajar Aswad telak diletakkan pada posisinya semula.
Hikmah apa yang dapat dipetik dari kisah di atas? Peristiwa yang terjadi pada lima tahun sebelum kenabiannya itu menunjukkan bahwa Muhammad bin Abdullah mempunyai ide cemerlang untuk menyatukan semua kelompok yang ada di kota Mekkah. Beliau berbuat atas nama “kebersamaan” dan “kedamaian”. Berkat ide itu, kepala suku yang tadinya terpecah berai dan nyaris saling serang dengan pedang dapat disatukan dan didamaikan.
Lewat ide cemerlang itu juga beliau telah menghapuskan sifat individualisme atau kelompok-isme yang begitu kuat merasuk pada diri kepala suku. Atas nama kebersamaan dan kedamaian itu, beliau berhasil menciptakan kepentingan yang jauh lebih besar dan bermanfaat.
Sifat kepemimpinan yang mengedepankan kebersamaan dan kedamaian ini menarik perhatian Michael H. Hart. Penulis buku The 100: A Ranking of The Most Influential Person in Historys, New York ini menempatkan Nabi Muhammad Saw dalam urutan nomor wahid sebagai pemimpin dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia. “Saya berpegang pada keyakinan saya, dialah satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi,”tulis Hart dalam kata pengantarnya.
Praktek kepemimpinan yang dijalankan oleh Rasulullah seharusnya menjadi role model bagi bangsa ini. Kebersamaan dan kedamaian semestinya menjadi tampilan para pemimpin negeri ini. Saling salah menyalahkan dan saling berebutan dalam mempengaruhi rakyat harus segera ditinggalkan. Bila para elit negeri ini makin berebut pengaruh, maka sudah pasti ketidakdamaian akan terjadi. Hidup harmonis jauh panggang dari api. Dan Rasulullah telah memberikan contoh ; membangun kebersamaan dan kedamaian serta meninggalkan kelompok-isme individual-isme demi kepentingan yang jauh lebih besar dan bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar