Ikhlas Karena Allah
Di ujung pasar Madinah, seorang pengemis Yahudi buta yang renta punya kebiasaan unik, suka menghujat Nabi Muhammad. “Jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila! Dia pembohong dan tukang sihir. Awas, kalian akan terpengaruh,” teriak sang pengemis dengan suara parau.
Teriakan itu didengar oleh Rasulullah Saw. Beliau tak marah dengan sikap sinis si pengemis, melainkan menghampirinya seraya memberinya makanan. Tanpa sepatah kata pun, beliau menyuapi pengemis yang tak henti menghujatnya.
Setelah selesai, si pengemis berkata, “Terima kasih tuan. Ingat, jangan dekati Muhammad ya. Dia itu orang gila, pembohong. Dia itu tukang sihir. Jangan sampai tuan terpengaruh sama dia.”
Dengan wajah sumringah Nabi malah menjawab dengan senyum. Keesok paginya, beliau kembali datang menyuapi si pengemis. Dengan penuh kasih, beliau melayani sang pengemis renta.
Demikian kebiasaan Nabi terus dijalaninya hingga beliau jatuh sakit menjelang wafat dan tak lagi dapat melayaninya.
Setelah Rasulullah dipanggil Allah SWT, tak ada lagi yang membawakan sarapan dan menyuapi pengemis itu. Si pengemis kehilangan orang asing berhati emas.
Sepeninggal Rasulullah Saw, Abu Bakar berkunjung ke rumah Siti Aisyah RA. Abu Bakar bertanya pada anaknya tersebut, “Wahai putriku, adakah satu sunah kekasihku yang belum aku tunaikan?”
Aisyah menjawab, “Wahai ayahku, engkua adalah seorang ahli sunah, dan hampir tidak ada satu suna apun yang belum engkau lakukan, kecuali satu saja”.
“Apakah itu,” seru Abu Bakar dengan penasaran.
“Setiap pagi Rasulullah Saw selalu pergi ke ujng pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” ungkap Aisyah dengan mata-mata berkaca-kaca.
Keesokan harinya, Abu Bakar menemui pengemis untuk meneruskan kebiasaan Nabi. Abu Bakar mulai menyendok makanan, lalu menuntun tangannya untuk makan dengan sendok. Tiba-tiba si pengemis berteriak, “Hei, siapa kamu?”
“Aku orang biasa saja,” jawan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
“Ah, bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” sergah si pengemis. “Bila ia mendatangiku, tangan ini tidak perlu memegang dan mulut ini tidak susah mengunyah. Ia selalu menyuapiku dengan lebih dulu menghaluskan makanan dengan mulutnya.”
Abu Bakar tak kuasa menahan tangis. Tersendat ia berkata, “Ya, aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu. Aku hanyalah sahabatnya.
Sedangkan orang mulia itu telah wafat beberapa hari lalu. Dialah Muhammad Rasulullah Saw.”
Mendengar penjelasan Abu Bakar, si pengemis tersedak. Orang yang selama ini dia caci-maki sepanjang hari, ternyata justeru yang selama ini paling peduli terhadap dirinya. “Asyhadu allaa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah….,” seketika si pengemis berseru.
Kisah di atas merupakan contoh keagungan rasa ikhlas Nabi Muhammad Saw. Beliau paham, pengemis Yahudi itu telah termakan hasutan kaumnya. Kebutaanya menyebabkan dia bebal dengan kata-kata. Ia sejatinya tidak tahu apa yang dikatakannya sendiri tentang Muhammad. Sedangkan agama sangat mengajarkan kepedulian kepada para penyandang cacat dan kaum fakir.
Karena itulah, Rasulullah ringan saja mengulurkan tangan kepada orang yang terus menerus mencoba membunuh karakter diri beliau. Dalam beramal, Nabi tidak berhitung dengan manusia. Kebaikan beliau karena Allah SWT.
Kisah ini juga menunjukkan, bahwa Rasulullah sangat ringan memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang membencinya. Tidak ada balasan kebencian, dendam kesumat atau keinginan untuk mencelakakan orang yang nyata-nyata menghina dan memfitnahnya.
0 komentar:
Posting Komentar